TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Jazilul Fawaid mengusulkan agar Pilkada di tingkat provinsi dipilih melalui DPRD masing-masing provinsi bukan lagi dipilih oleh rakyat secara langsung. Menurut dia, itu perlu dilakukan karena pencoblosan serentak menelan anggaran besar.

Menurut dia, tingginya biaya pemilihan gubernur itu terlihat pada Pilkada 2024. Misalnya, pemerintah harus mengeluarkan biaya lebih dari Rp1 triliun untuk Pilkada Jawa Barat, belum lagi ditambah biaya pemilihan gubernur di wilayah lainnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Itu bukan anggaran yang kecil. Kalau yang Rp1 triliun itu diberikan ke salah satu kabupaten di salah satu provinsi, di NTT misalnya, itu bisa membuat ekonomi bangkit," kata Jazilul di Jakarta, Kamis, 28 November 2024.

Dia mengatakan bahwa otonomi daerah sejatinya diberikan kepada kabupaten/kota sehingga Pilkada langsung cukup di tingkat kabupaten/kota. Oleh karena itu, Pilkada secara langsung di tingkat provinsi harus dievaluasi.

Jazilul mengemukakan bahwa demokrasi harus tetap berjalan dan rakyat harus mendapat kesempatan untuk partisipasi. Kendati demikian, penggunaan anggaran harus tetap menjadi perhatian.

Persoalan biaya politik itu, kata dia, harus menjadi pembicaraan di antara partai-partai politik. Dia mengatakan pembahasan itu bisa pada momen revisi paket undang-undang politik dengan sistem omnibus law, yang menggabungkan UU Partai Politik, UU Pemilu, dan UU Pilkada.

Selain pemilihan gubernur melalui DPRD, dia juga mengusulkan pemisahan antara pemilihan umum anggota legislatif (Pileg) dengan pemilihan presiden (Pilpres) agar tidak bersamaan.

Ia berpendapat bahwa pelaksanaan Pileg dan Pilpres secara serentak menyebabkan calon anggota DPR RI luput dari perhatian masyarakat. Pasalnya, pikiran dan perhatian masyarakat tertuju pada pemilihan presiden.

TRIBUNJATIMTIMUR.COM, JEMBER - Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jember mendukung wacana kepala daerah tingkat gubernur dipilih melalui anggota DPRD.

Wacana tersebut sebelumnya, dilontarkan Presiden RI Prabowo Subianto dalam acara HUT ke-60 Partai Golkar.

Ketua DPC PKB Jember Ayub Junaidi mengatakan, keputusan untuk menerapkan sistem pemilihan langsung dalam Pilkada memang sudah saatnya dievaluasi.

"Kan tidak mungkin keputusan tidak dievaluasi. Dulu pemilihan bupati/walikota maupun gubernur cukup lewat DPRD. Kemudian dievaluasi karena akan memunculkan raja kecil, akhirnya diterapkan pemilihan langsung," ujarnya, Jumat (13/12/2024).

Berikut sistem pemilihan langsung diterapkan, kata dia, justru malah membuat demokrasinya makin kacau, bahkan tingkat partisipasi pemilihnya tidak sampai 60 persen.

"Terus efek mudorotnya lebih banyak. Makanya saya sepakat untuk dievaluasi oleh akademisi dan politisi kira-kira sistem demokrasi kita yang cocok seperti apa. Coba hitung biaya untuk pemilihan gubernur berapa, hasilnya ya gitu-gitu saja," kata Ayub.

Ayub mengatakan, kalau pemilihan kepala daerah dilakukan melalui parlemen. Kekurangannya masyarakat tidak bisa memilih langsung. Bahkan paling buruk ada suap terhadap anggota DPRD.

Baca juga: Peringatan Hari Sanitasi, Wali Kota Pasuruan Ingatkan Pentingnya Kolaborasi Antar Perangkat Daerah

"Itu kan teknis, mungkin yang rusak anggota DPRD dan itu mudah dilacak. Tapi sekarang rusaknya langsung kepada masyarakat, money politik seperti itu dan vulgar satu rumah bisa pegang berapa amplop itu," paparnya.

Ayub menilai pemilihan kepala darah melalui DPRD, jauh lebih murah ketimbang mekanismenya pemilihan langsung.

"Biaya Pilkada Jember yang diberikan ke KPU mencapai Rp103 miliar, sedangkan anggaran untuk Bawaslu Jember sebanyak Rp 38 miliar. Maka itu perlu dievaluasi oleh akademisi, politisi, dan yang lain, kira-kira apa yang cocok,” tutur dia.

Dapatkan informasi lainnya di Googlenews, klik : Tribun Jatim Timur

Ikuti saluran whatsapp, klik : Tribun Jatim Timur

(TribunJatimTimur.com)

Presiden Prabowo Subianto saat memberikan sambutan di Perayaan Puncak HUT ke-60 Partai Golkar, SICC, Bogor, Kamis (12/12/2024) malam. FOTO/SETRES

menyebut perlu adanya perbaikan sistem

di Indonesia. Prabowo menyinggung negara tetangga yang memilih kepala daerah melalui DPRD.

"Saya sangat tertarik pemikiran Ketua Uumum Ppartai Golkar. Menurut saya hari ini yang paling penting, yang disampaikan Ketua Umum Partai Golkar tadi, bahwa kita semua merasakan demokrasi yang kita jalankan ada suatu atau ada beberapa hal yang harus kita perbaiki bersama-sama," kata Prabowo dalam sambutannya di Perayaan Puncak HUT ke-60 Partai Golkar, SICC, Bogor, Kamis (12/12/2024) malam.

Prabowo mengatakan bahwa tidak perlu malu untuk mengakui bahwa sistem demokrasi di Indonesia terlalu mahal. Dirinya menggambarkan bahwa meski menang Pilkada, para calon nampak lesu karena diduga telah mengeluarkan biaya yang besar.

"Menurut saya kita harus perbaiki sistem kita, dan kita tidak boleh malu untuk mengakui bahwa kemungkinan sistem ini terlalu mahal, betul?," kata Prabowo.

"Dari wajah yang menang pun saya lihat lesu juga, yang menang lesu, apalagi yang kalah," sambungnya.

Prabowo memuji sikap Bahlil yang berani mengoreksi tentang sistem demokrasi di Indonesia. Dirinya juga meminta Ketua DPR Puan Maharani yang hadir pada acara tersebut untuk ikut serta memikirkan sistem demokrasi yang dianggap mahal.

"Tapi menyampaikan perlu ada pemikiran memperbaiki sistem partai politik. Apalagi ada Mbak Puan kawan-kawan dari PDIP, kawan-kawan partai-partai lain, mari kita berpikir mari kita tanya apa sistem ini berapa puluh triliun habis dalam satu dua hari dari negara maupun tokoh-tokoh politik masing-masing," katanya.

Prabowo mencontohkan banyak negara tetangga Indonesia yang dalam menentukan kepala daerah dipilih oleh DPRD. Menurutnya, hal tersebut lebih efisien dan tidak mengeluarkan banyak biaya.

Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Jazilul Fawaid mengusulkan agar pilkada di tingkat provinsi untuk memilih pasangan calon gubernur dan wakil gubernur melalui DPRD masing-masing provinsi bukan lagi dipilih oleh rakyat secara langsung karena berbiaya mahal.

Menurut dia, tingginya biaya pemilihan gubernur itu terlihat pada Pilkada 2024. Misalnya, Pemerintah harus mengeluarkan biaya lebih dari Rp1 triliun untuk Pilkada Jawa Barat saja, belum lagi ditambah biaya pemilihan gubernur di wilayah lainnya.

"Itu bukan anggaran yang kecil. Kalau yang Rp1 triliun itu diberikan ke salah satu kabupaten di salah satu provinsi, di NTT misalnya, itu bisa membuat ekonomi bangkit," kata Jazilul di Jakarta, Kamis.

Dikatakan bahwa otonomi daerah sejatinya diberikan kepada kabupaten/kota sehingga pilkada langsung cukup di tingkat kabupaten/kota. Oleh karena itu, pilkada secara langsung di tingkat provinsi harus dievaluasi.

Jazilul mengemukakan bahwa demokrasi harus tetap berjalan dan rakyat harus mendapat kesempatan untuk partisipasi. Kendati demikian, penggunaan anggaran harus tetap menjadi perhatian.

Persoalan biaya politik itu, kata dia, harus menjadi pembicaraan di antara partai-partai politik. Pembahasan itu bisa pada momen revisi paket undang-undang politik dengan sistem omnibus law, yang menggabungkan UU Partai Politik, UU Pemilu, dan UU Pilkada.

Selain pemilihan gubernur melalui DPRD, dia juga mengusulkan pemisahan antara pemilihan umum anggota legislatif (pileg) dengan pemilihan presiden (pilpres) agar tidak bersamaan untuk menghormati kedaulatan rakyat dalam memilih presiden maupun anggota legislatif secara saksama.

Ia berpendapat bahwa pelaksanaan pileg dan pilpres secara serentak menyebabkan calon anggota DPR RI luput dari perhatian masyarakat. Pasalnya, pikiran dan perhatian masyarakat tertuju pada pemilihan presiden.

Baca juga: Titi mendorong penyatuan UU Pemilu dan UU Pilkada dalam satu naskah

Baca juga: DKPP RI: Penyatuan UU Kepemiluan dapat tingkatkan kualitas demokrasi

Pewarta: Bagus Ahmad RizaldiEditor: D.Dj. Kliwantoro Copyright © ANTARA 2024

TEMPO.CO, Jakarta - Pakar hukum tata negara Herdiansyah Hamzah mengatakan pemilihan kepala daerah oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau DPRD justru menimbulkan mudarat. Menurut Herdiansyah, sistem pilkada langsung oleh rakyat saat ini telah membuka ruang publik agar bisa mengontrol dan mengawasi elit politik.

“Beda soal kalo kemudian itu dikembalikan ke DPRD. Bahkan, kalau dikembalikan ke DPRD itu bagi saya sama saja dengan ruang tertutup,” kata Herdiansyah kepada Tempo, Jumat, 13 Desember 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman ini mengatakan ruang tertutup justru membuat kepemimpinan daerah bekerja tidak transparan. Hal ini justru menyuburkan politik transaksional apabila tidak ada partisipasi publik karena pemilihan diambil alih DPRD. Di samping itu, pilkada di tangan DPRD juga menyuburkan politik dinasti. "Tawar-menawarnya makin kental,” katanya.

Herdiansyah mengatakan pilkada oleh DPRD merupakan upaya untuk melanggengkan kekuasaan kelompok oligarki. Sebab mereka akan lebih mudah mempertahankan kekuasaan apabila skema politik dikembalikan kepada DPRD.

“Mereka tidak perlu mengeluarkan biaya, kemudian kekuasaan mereka yang kontrol. Jadi, akan jauh lebih mudah bagi mereka untuk melanggengkan kekuasaannya,” ujarnya.

Padahal, kata Herdiansyah, pemilihan secara langsung adalah satu-satunya cara untuk melancarkan kritik dan penghakiman terhadap pemimpin yang lalai menjalankan amanah rakyat. Menurut dia, biaya pilkada yang mahal bukan alasan mengembalikan pilkada ke DPRD. Ia menuturkan biaya mahal selama ini bukanlah penyelenggaraan, tetapi lebih kepada kontestasi yang banyak menghabiskan biaya politik.

“Untuk itu, jawaban persoalan ini seharusnya lebih diarahkan dalam upaya perbaikan pengelolaan pemilu (electoral management),” kata dia.

Usulan kepala daerah dipilih DPRD baru-baru ini dilontarkan Presiden Prabowo Subianto. Prabowo beralasan pilkada menelan biaya mahal jika memakai sistem pemilihan langsung seperti saat ini.

“Kemungkinan sistem ini terlalu mahal. Betul? Dari wajah yang menang pun saya lihat lesu, apalagi yang kalah,” kata Prabowo dalam pidatonya saat perayaan ulang tahun ke-60 Partai Golkar di Sentul, Bogor, Kamis malam, 12 Desember 2024.

Prabowo mengatakan negara bisa menghemat triliunan rupiah jika pilkada dilakukan oleh DPRD. Anggaran tersebut, ucap Prabowo, bisa dialihkan untuk kepentingan lain yang lebih mendesak.

“Berapa puluh triliun habis dalam satu-dua hari, baik anggaran dari negara maupun dari masing-masing tokoh politik,” ujarnya.

Prabowo juga menyinggung soal efisiensi jika kepala daerah dipilih oleh DPRD. Selain tidak boros anggaran, kata dia, pilkada oleh DPRD juga mempermudah transisi kepemimpinan. Ia mencontohkan praktik tersebut terjadi di sejumlah negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.

“Saya lihat negara-negara tetangga kita efisien seperti Malaysia. Bahkan juga India. Mereka sekali memilih anggota DPRD, ya sudah, DPRD itulah yang memilih gubernur, walikota,” kata Prabowo.

HENDRIK YAPUTRA berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Jl. Kebon Sirih, No. 18, Jakarta Pusat 10110 Telp. (+6221) 3822951, 3822051 Fax. (+6221) 3843647 Email. [email protected]